Trauma
Oleh Hengky Jimmy
22 September
2010 jam 23:30
Aku sangat mengutuk perceraian orang
tuaku. Akh, rasanya aku tak akan pernah bisa menerima kenyataan itu. Bagiku,
apapun alasannya, perceraian itu tak dapat kubenarkan. Sebagai anak, aku sudah
berupaya: segala cara, segala daya dan segala apapun, untuk menghalangi niat
mereka. Nihil. Keputusan itu sudah bulat: meski tak melalui mekanisme
musyawarah mufakat. Aku dan kakakku, Rachel, tidak diikut sertakan dalam proses
pengambilan keputusan. Mereka bilang ini urusan orang tua, anak-anak belum
mengerti masalah ini. Terlalu rumit, sulit dan kompleks. Ya, aku memang tak
mengerti dan tak akan mau mengerti. Hanya saja, aku merasa terabaikan.
Hak-hakku sebagai seorang anak terampas, teraniaya. Egois.
Perceraian itu pun berjalan mulus
tanpa hambatan.
Setelah perceraian itu, semuanya
berjalan hambar. Kehangatan, kasih sayang, sebentuk perhatian, rasa ingin
bermanja, senda tawa di meja makan saat sarapan pagi, menguap. Semuanya
terengut, tak menyisakan secuil pun untukku yang masih sangat membutuhkan
hangatnya sebuah keluarga.
Aku, dengan sangat terpaksa,
memutuskan memilih untuk ikut ibu: begitu pula kakakku, Rachel. Sebenarnya aku
memilih untuk pergi, terbang tinggi mengepakkan sayap-sayapku mencari
kebahagiaan, mencari duniaku yang terampas. Tapi kudapati sayapku tak cukup
kuat untuk melakukan hal itu. Meski demikian, memilih untuk ikut ibu, sudah
kupertimbangkan dengan sangat matang. Aku berharap, sebagai sesama perempuan,
ibu, dalam bayanganku, dapat memberikan sebentuk perhatian dan kasih sayang
yang dapat mengurangi rasa benciku pada perceraian itu. Aku sangat berharap,
semacam obsesi di tengah rasa luka yang menghitam di jiwaku. Nyatanya tak.
Rasanya, ibu, seperti mahkluk asing
bagiku. Aku seperti tak mengenalnya lagi. Ia tenggelam oleh dirinya sendiri dan
mengabaikan adaku. Perceraian itu bagai palu godam yang telah meremukkan seluruh
hidupnya. Aku tahu, ibu sangat terpukul oleh kejadian itu. Ibu seolah hilang
dari dunia ini. Ia mulai jarang di rumah. Ia terlalu sibuk di luar. Entah
kesibukkan seperti apa yang begitu menyitanya. Bila di rumah, sejenak, ibu
hanya mengurung diri di kamar. Tak banyak bicara.
Praktis aku benar-benar merasa
terabaikan dan semakin menumbuhkan-kembangkan kebencianku pada perceraiaan
mereka. Sementara papa, tak kukutahui lagi rimbanya. Dan aku juga memang sudah
tidak peduli lagi padanya.
“Sudahlah, Tania. Kamu tidak bisa
terus menerus menyalahkan papa-mama. Mungkin perceraian itu merupakan jalan
terbaik bagi mereka.” Kak Rachel, mencoba menenangkanku yang marah, muak dan
kecewa.
“Dengan mengorbankan kebahagiaan
kita, kak?!” aku mendesis.
“Yah, terkadang kita memang harus
siap berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Apalagi mereka itu orang tua kita,
Tan.”
Usiaku yang belia, menolak keras
pendapat kak Rachel. Bagiku, aku tetap tak bisa menerima pendapat Kak Rachel.
Kebencian telah tumbuh, menghalangi pandanganku tentang apapun.
Pagi menguap, lenyap tanpa jejak....
Waktu menyeretku. Bulan depan usiaku
genap tiga puluh tahun. Tak lagi mudanya tentunya. Terlebih aku hanya seorang
perempuan. Ya, seorang perempuan dengan catatan: status belum menikah.
Pengalaman pahit perceraian orang tuaku masih mengeram di hatiku, kini, dan
mengiringiku dalam kesendirian. Aku belum memutuskan untuk menikah. Berbeda
dengan kakakku, Rachel. Lima tahun yang lalu ia memutuskan menikah dengan pria
pilihan hatinya dan kini sudah dikaruniakan seorang putera dan seorang puteri
yang imut dan lucu.
Sekali atau dua kali sebulan, ia
pasti berkunjung ke rumah. Selalu, dan tak bosan-bosannya, ia membagi
kebahagiaannya denganku. Ya, tampaknya kakakku itu sangat bahagia dengan
pernikahannya. Selalu, bila ia pamit, dan pulang ke rumahnya di selatan
Jakarta, ia selalu meninggalkan catatan kecil dalam setiap percakapannya
denganku. Tak pernah jenuh.
Sudah punya pilihan...?
Siapa lelaki beruntung itu...?
Kapan menikah...?
Aku selalu diam dan melempar senyum
setiap kali ia bertanya tentang hal itu. Sekarang bukan tak ada lelaki yang
begitu dekat denganku. Banyak. Mereka datang-pergi, terlebih dengan sikapku
yang dingin terhadap mereka. Tapi ada satu lelaki yang begitu gigih dengan
sikapku. Ia begitu bersabar menghadapi diriku. Sejujurnya, tak ada yang kurang
dalam dirinya. Ia sangat perhatian denganku. Memberiku rasa yang ruah:
perhatian, kasih sayang yang telah cukup lama hilang dalam hidupku, sejak
orangtuaku bercerai. Ia begitu sempurna memberikan seluruh perhatiannya padaku.
Akhirnya, aku luluh dengan sikapnya. Aku menjalani hubungan dengannya. Kak
Rachel pun, pada akhirnya mengetahui hubunganku ini. Suprise....
Tapi..., aku tak pernah sanggup
melangkah bila pembicaraan sudah mengarah ke hubungan yang lebih serius,
pernikahan, aku takut melangkah ke arah sana.
“Sampai kapan Tan?”
Selalu sama, aku cuma terdiam.
“Aku ingin kamu tahu, aku serius
denganmu. Dan ini sudah satu tahun berjalan. Aku ingin melamarmu, maukah kamu
menikah denganku...?”
Siang itu, tidak seperti biasanya,
kakakku, Rachel, datang berkunjung. Aku lihat mendung menggantung di wajahnya.
Ia membawa serta dua buah hatinya. Suaminya, Mas Bram tak serta. Aku jadi
bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi?Ini tak biasa. Hingga kemudian ia
mulai bercerita tentang suaminya. Tentang perselingkuhannya.
“Kami sudah sepakat untuk bercerai”
ujar kakakku, meski dengan wajah yangn sedih, tapi tak kutemukan air mata di
wajahnya. Kulihat ia mencoba tegar dengan kondisi keluarganya yang diambang
kehancuran. Ibu nampak terpukul sekali mendengar berita itu.
“Sudah dipikirkan matang-matang,
kak?” Aku juga sangat terpukul mendengar niat perceraiannya. Tak pernah
terpikirkan, kebahagiaan yang selalu ia bagi untukku ternyata rapuh adanya.
Sama rapuhnya dengan diriku-sendiri. Akh, aku kian gamang dengan hasil
peradaban manusia itu yang bernama pernikahan. Bagai mata rantai, kini semua berulang:
Papa-mama cerai, dan kini kakakku juga akan bercerai. Semacam takdir hitam yang
membayangi garis keturunan keluargaku. Mengintai bak musuh yang siap
meluluh-lantahkan setiap keturunan papa-mama.
“Aku tak punya pilihan, dan
perceraian itu satu-satunya jalan terbaik. Untuk apa mempertahankan rumah
tangga bila di dalamya sudah tidak ada lagi cinta. Mas Bram tidak kali ini saja
melakukannya. Aku sudah muak dengan segala kebohongan dan perselingkuhannya.”
Aku terdiam mendengar kata-katanya.
Pikiranku menerawang, jauh, terbayang kata-kata Adit yang kemarin berniat ingin
melamarku. Aku memikirkan kata-katanya yang hendak meminangku. Dan kini,
mendapati kondisi kakakku...
“Oh, ya bagaimana hubunganmu dengan
Adit?”
Aku tersentak. Kejut merona di
wajahku.
“Kenapa, Tan? Kamu kok nampak
terkejut sekali? Hubungan kamu baik-baik saja kan?” bola mata kak Rachel
menyelidik....
“Ah, tidak apa-apa, kak. Hubunganku
dengan Adit baik-baik aja kok...” jawabku gugup.
“Kamu yakin? Kamu jangan bohong
dengan kakak, pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan?” kak Rachel berpindah
tempat, ia duduk di sebelahku. Ia nampak serius sekali ingin tahu perkembangan
hubunganku dengan Adit.
Aku terdiam. Pikiranku tergantung.
Haruskah aku cerita pada kakakku apa yang menjadi kegelisahanku selama ini?
Bagaimana aku selalu takut untuk melangkah ke jenjang pernikahan, dan sampai
saat ini aku tak juga menikah, hanya karena aku tak ingin mengulang sejarah
keluarga, cerai, dan bagaimana kini kakakku juga akan bercerai? Akh, apa yang
harus aku lakukan? Pada sisi yang lain, aku juga takut kehilangan Adit: seluruh
perhatian dan cintanya. Akh....
“Tan....!”
Aku tersedot, pikiranku turun ke
bumi.
“Ya....” beku lidahku rasanya.
“Kamu baik-baik saja kan? Ya, sudah,
mungkin kamu tak ingin berbagi cerita dengan kakak!” Kulihat kak Rachel akan
beranjak dari tempat duduknya.
“Aku takut, kak...” aku mendesis.
Tanganku meraih lengan kak Rachel.
“Kenapa...” sorot mata kak Rachel
menghujam diriku.
Aku tertunduk. Sepertinya, aku
memang harus cerita. Sekian lama ini mengganggu hidupku. Mungkin dengan itu,
ada sedikit kelegaan dalam diriku, mengurangi beban di hatiku selama ini.
“Adit ingin melamarku...” terangku.
“Haa, bagus dong. Ini baru kabar
baik namanya. Akhirnya. Selamat ya...” rupa wajahnya cerah dengan senyum
sumringah.
“Tapi...”
“Ada apa dengan “tapi”? Kamu ragu
dengan Adit?”
“Mungkin,..., terlebih aku juga ragu
pada diriku sendiri. Maaf kak, aku tak mengerti namun aku jadi percaya: ini
merupakan takdir keluarga kita!”
“Maksudnya apa, Tan? Kakak ga
ngerti..” kak rachel kembali duduk di sampingku.
“Cerai. Bukankah papa-mama cerai.
Dan kini kakak juga. Aku takut kak bila ternyata pernikahanku juga akan
berakhir sama.” Aku menjelaskan dengan perasaan yang galau. Kak rachel
merengkuh tubuhku. Membelai rambutku.
“Kamu jangan pesimis gitu. Bukankah
setiap orang punya takdirnya masing-masing!” kak rachel mencoba meyakinkanku
yang rapuh. Akh, harusnya aku kini yang menghibunya. Bukankah ia tengah berduka
atas kondisi keluarganya yang di ambang kehancuran.
“Tapi tidak untuk keluarga kita,
kak.” Seruku kian gamang. Aku termenung sendiri. Kak rachel kian erat merengkuh
tubuhku. Ada ketenangan dalam setiap peluknya. Ahk, kenapa semua harus seperti
ini....
“Sudah malam...., kamu pikirkan
matang-matang kembali semuanya. Setidaknya, dalam hidup, sekali saja, kamu
putuskan yang terbaik untuk hidup kamu, Tan.” Kak Rachel beranjak
meninggalkanku.
Malam pun bergegas. Aku mulai
mengemas hati yang galau. Aku memang harus memikirkan matang-matang kembali
semuanya, dengan sangat matang dan aku ikhlas bila harus kehilangan
dirinya.....
“Maafkan, aku Dit.....” bisikku pada
angin yang berhembus saat aku menutup jendela kamarku, menyambut ruang-ruang
mimpi, mencari impian baru untuk hari esok....
Akh..., aku benar-benar sangat
mengutuk perceraian orang-tuaku.
Pulojahe- Negeri 1001 janji, 02
Oktober 2008...
Untuk sahabatku yang di ujung
resah....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar