NYANYIAN RINDU SERUNI
Oleh : Hasyim Ahmadi
Sesekali ku tebar
senyum pada tamu ku, ya begitu lah pekerjaan ku, aku berada di front
office, sebuah gedung olahraga mewah, kebanyakan yang berkantong tebal
juga para pebisnis. Olahraga yang tak pernah ku bayangkan untuk bisa
memainkan nya, apalagi berada di lapangan itu. “Ya“, hanya saja secara
kebetulan aku berada dan bekerja di tempat mewah, tempat orang yang
berkantong tebal menghabiskan waktu dan berbisnis, atau juga sekedar
olahraga. Bola kecil putih dan lapangan luas, hanya samar ku dengar
berita di Koran, kalau lapangan golf itu di bangun di atas penderitaan
orang-orang susah dan miskin, lapangan olahraga yang berpondasi tulang
belulang orang melarat, “Apa benar seperti itu ?” Kini aku berdiri tepat
di sini, atau barangkali jika benar, pada malam hari suasana nya seram
seperti film-film horor indonesia, “ film horor Indonesia, yang
menggelikan bukan menakut kan.“ Ya tapi tetap ku tonton…film Indonesia,
walau tak se horor Indonesia ku dan kisah ku ini. Gedung dan lapangan
mewah nan megah, di hantui kaum melarat, yang mungkin lapangan golf itu
bisa di tempati ribuan warga miskin, “ sungguh luar biasa !”. Orang
–orang kaya di negara ku ini, bisa membeli kesenangan kaum melarat.
Hanya untuk memukul kan tongkat sakti nya ke lubang.
Kala itu
memang sangat lah muda usia ku. Ya terasa sekali usia muda, satu tahun
aku menjalani pacaran dengan nya. Usia 21 tahun kami menikah dengan
lelaki pilihan ku “ Bibin, setiap kali memanggil nya”, keluarga ku
memang tidak setuju dengan nya, namun aku coba menyakin kan kisah cinta
ku dengan nya pada kelurga ku. Atas alasan cinta aku menjadi kuat hidup
bersama nya. Hari demi hari ku lewati, ku pendam roman ketidak puasan
ku dan penderitaan ku. Terasa dan mulai pahit getir nya hidup ku
rasakan. Aku di boyong ke keluarga nya dan hidup se atap dengan kelurga
lelaki pilihan ku, segenap rasa senang dan pahit hanya ku rasakan dan ku
jadikan pelajaran hidup. Aku, Ibu dan ayah mertua serta 1 orang adik
nya, walau terasa berat ku hadapi aku pun berangkat ke kediaman baru ku.
Atap keluarga baru ku dengan wajah dan karakter yang baru pula, suami
ku anak ke 3 dari 4 bersaudara, laki-laki satu-satu nya di keluraga, ia
bekerja sebagai seorang marketing handal di salah satu perusahaan
Malaysia yang bergerak di bidang prodak prodak kesehatan. Kembali ku
bercerita pada seseorang melalui benda kecil yang di sebut handphone,
siang itu tepat jam 13.12 menit, 6 september, empat hari menjelang
lebaran. Wuih sungguh luar biasa, bulan penuh berkah, rahmat dan
ampunan itu. Tapi tiap kali ku ingat dia, hanya sesal dan penderintaan
yang ku ingat, memang tadi tak sedikit pun ku ceritakan hal-hal yang
menyenangkan ketika ku bersama nya, hanya cacian dan makian yang ku
sebut. Sesekali ku tinggal kan lawan bicara ku, karna posisi ku saat
bercerita sedang memainkan papan keyboard, gaul dan trend anak muda
sekarang, fesbuk Ya!, ku sambi lawan bicara ku dengan chating, aku pun
mencoba jujur dan bersikap apa ada nya dengan cerita ku, mungkin kawan
yang mendengarkan cerita ku juga menilai ku tentang apa yang telah ku
ceritakan. Sungguh berat ku ceritakn pengalaman hidup ku, tapi biarlah,
semoga saja menjadi hikmah tersendiri bagi yang lain nya.
KU RINDU KE DUA ANAK KU
Tiga
puluh tujuh tahun kini berlalu, dua orang anak kecil yang sedang
berlari mengingat kan ku akan orang yang ku kasihi, sambil ku rapih kan
tempat tidur ku, sinar matahari membelah, semakin meruang sinar nya
memaksa masuk kamar tidur ku, kembali ku mengintip lewat jendela, dua
orang anak kecil yang belari menuju sekolah nya. menari-nari dan kadang
meloncat-loncat itu. Ia menggodaku?” Aku teringat cerita yang hampir
terlupakan tentang orang yang kini ku tinggal kan. Menggoda seorang
perempuan, “ya” di tempat bola putih kecil itu menggelinding. Tempat nya
harapan-harapan orang melarat terkubur. Di sana pula lah cinta ku
bersama nya tumbuh, cinta ku tumbuh di padang golf yang berpondasikan
keringat dan tulang belulang kaum dhuafa, tulang-tulang manusia
terjajah.
“Jangan sekali-kali engkau memainkan perasaan hatimu!”
dan mengatakan !“
cinta ku untuk mu seorang.
“ Aku hanya mengingat kan kalian!”,
jangan pernah merasakan apa yang sudah ku rasakan “.
“Mengapa diam saja?
Tak boleh aku berkata tentang sesuatu?”
Terus
saja ku rapih kan bibir ku dengan sebatang gincu merah tipis,
barangkali cermin buluk iu mentertawai ku, setiap kali ku membatin
dengan nya. Setiap kali ku sesali peristiwa yang menyesak kan hati
seolah cermin berubah seperti comberan di belakang rumah yang bau. Aku
menangkap sinisme dari cermin buluk ku, dari pernyataan itu. Cermin
buluk ku pun tak setuju untuk mengenang nya dia hanya berharap aku akan
maju menatap masa kini untuk berjalan ke depan. Ya. Barangkali untuk
kamu. Karena kamu anak yang tak pernah bergulat dengan comberan di
belakang rumah ku dan setiap kali air nya mampet, maka aku lah yang
menjadi korban, untuk membersih kan nya,” jelas cermin““Ya kamu tahu
itu. Tapi jangan begitu. Bukankah aku mencintaimu? Dan kamu?” Bibin tak
ragu mencintai Seruni, gadis yang akrab sekali dengan comberan bau di
belakang rumah nya, “apakah kamu lelaki, keturunan hewan yang berbuntut
itu? Tanya cermin, pada seruni !” Seruni mengambil, boneka barbie dan
mobil-mobil-an yang hampir rusak. Benda yang selalu mengingat kan akan
kerinduan ku pada-anak-anak ku. Aku ingat sekali, aku belikan ia mainan,
Untuk putri ku yang tercantik ku, dan sang jagoan ku hadiai
mobil-mobilan, ku berharap kelak ia akan menjaga mama nya di kala tua
nanti, begitu pun boneka yang ku berikan pada puteri ku, kasih dan
sayang nya untuk mu berdua, kenapa ku berkata berdua!, tanpa ayahnya
anak-anak?... Aku memiliki alasan sendiri, barangkali di usia yang sudah
menjelang akil baligh, kedua anak ku pun merasakan hal yang ganjil.
Kenapa ayah ibu tidak tinggal seatap dengan kami. Sudah hampir dua tahun
aku meninggal kan keluarga ku, aku tak mau di bohongi oleh keterpaksaan
yang tidak membuat ku dewasa. Aku sudah muak di bohongi, dan aku
merasakan hal yang tidak mengenakan, perasaan hati yang mengganjal .
Gaji yang ku dapat dari bekerja ku membantu suami, tak lupa aku
membelikan Arjuna dan Srikandi ku, hilang semua rasa capek dan sakit ku
ketika ku dapat membahagiakan anak-anak ku. Sebatas bayangan semu, saat
ini yang dapat ku ingat, dan cermin buluk ku, seperti mencibir kembali.
“Kenapa kau masih seperti itu ?”
“ Aku tak bisa lari dari bayangan ke rinduan ku !“
“Itu sudah resiko, terima dan jalani apa yang sudah menjadi keputusan mu!”.
Tanpa
kusadari, air mata ku menetes, membasahi boneka anak ku, “. Cengeng
benar aku ini!, “ Aku ini wanita kuat yang tak boleh menangis, aku ini
kuat!...aku ini kuat, menguatkan hati ku yang mulai lemah, karena
deraian air mata,
“kenapa aku ini ?”
“ka ! terdengar pelan suara dari luar kamar Seruni memanggil.
“Ayo! Cepat!, mau bareng enggak!”
“Ya,
tunggu!” sambil bergegas merapih kan tas, dengan dandanan yang masih
kurang sempurna,. Seruni lari keluar kamar sambil melambaikan tangan
pada cermin buluk nya.
“ka !, ngapain aja sih, ko lama banget di kamar ?”
“nama nya juga perempuan, kalo bukan dandan emang nya ngapain ?”
“ iya perempuan sih perempuan, aku juga perempuan tapi ga lama-lama amat !”. “kakak nangis ya ?”
“ Ah ! udah ah, bawel amat sih ! “
Angkot
meluncur mengantar kan kegelisan Seruni yang terbawa, hingga ia turun.
Jelas tergambar dari raut wajah menekuk bibir nya, tak mengeluarkan aura
senyuman, dan ketulusan ekpresi yang damai. ekpresi yang menahan beban
hati, kesedihan yang memancarkan aura emosional yang tak tertata.
AKU di ANTARA IBU MERTUA dan SUAMI KU
“Yah,
mau kemana ?”...dengan wajah pucat dan penuh harap bakal di sapa, “ Mau
ke rumah Ibu !” aku melarang nya untuk pergi, aku juga wanita sama
seperti ibu mu. Badan ku yang sejak kemarin kurang enak badan dan lemas,
berharap ada sapa’an kasih sayang darinya, dan itu sangat ku harap kan
sekali menemani ku di kala sakit, semoga saja bisa menjadi obat dan
penghibur ku di kala ku sedang sakit. Tapi pilihan nya berbeda, ia
berkunjung ke rumah ibu nya, sehari setelah ia pulang dari rumah ibu,
aku pun coba menguatkan diri dan menjadi sehat, lantaran keadaan lah
yang mendokteri ku untuk sehat.
“ yah…! Kemana aja sih kamu ?”. dengan wajah yang dingin dan tanpa merasa berdosa “ Aku kan menengok ibu ku !,
“ sebenar nya apa sih mau mu ?...”, dengan nada tinggi sedikit menghardik ku !,
sebenar
nya ia tahu kala itu aku sedang sakit, namun sikap acuh nya membuat
adrenalin kemarahan ku memuncak dan mendorong ku untuk mengindah kan
rasa sakit ku, dalam hati “ bangsat sialan juga lelaki ini, ga tau apa
kalau gue ini lagi sakit, “ ku hanya berharap mendapat belaian dan kasih
sayangnya, itu akan mengobati rasa sakit ku. Aku tak mengira bakal
terjadi berantem hebat, antara aku dan suami ku.” Pikir ku “ Apakah dia
sudah tak menyayangi ku lagi ?”. Ku tepis jauh setiap kali pikiran itu
hinggap di kepala ku, aku hanya mau bahagia bersama nya. Suami ku
sebenar nya adalah orang yang sangat romantis, penuh rayuan manis yang
memesonakan, setiap kali dia merayu, bulan pun tak mampu bekata-kata,
hanya diam dan terbuai rayuan maut nya. Tak ku pungkiri aku tehanyut
oleh nya. Mungkin barangkali peradaban Jawa kraton memengaruhi perilaku
nya, sehingga ia mampu me ratukan ku sebagai layak nya seorang ratu
Kanjeng. Namun kesedihan ku tak dapat ku tutupi, kali ia menyakiti ku,
seperti kebanyakan orang menapsir kan TUDUNG kepala Jawa yang ku kenal
BlANGKON orang menyebut nya,” Gondok di belakang”, tak mampu
mengungkapkan kekesalan nya di depan, begitu pun falsafah keris nya,
yang di letakan di belakang nya, sama ku tafsir kan, balas dendam di
kemudian hari. Hmn memang sedikit agak primordial dan berbau kesukuan.
Aku yang di lahirkan di tanah dekat para kaum Hokian bermukim, masjid
pintu seribu yang terkenal itu serta aliran sungai Cisadane, bahkan kini
pemerintah daerah ku mempunyai pajak yang sangat besar dari lalu lintas
bandara Internasional, dari sanalah aku di lahirkan, aku menyebut diri
ku orang Betawi. Ku rasakan ada ke tidak cocokan dari tata laku yang ku
banggakan, namun itu bukan penghalang, namun terkadang menjadi alibi
bagi ku untuk menjadikan akar pangkal masalah, tepat nya sentimental
gitu, namun hal itu dapat ku atasi dengan kecintaan pada suami ku saat
itu, yang kini ia ku kukatai dengan nada sinis yang tak baik untuk di
perdengarkan, hati kecil ku menolak untuk berbuat seperti itu.
KENAPA ADA DUKA YANG BELUM TEROBATI ?
Sejak
dari malam aku enggan keluar kamar, suami ku yang hampir sudah tiga
hari tidak pulang . Alasan nya tugas luar kota. Hanya sekali ku tengok
anak-anak ku yang sedang tidur nyenyak, namun tampak juga rasa
kegelisahan di wajah nya, igau-igau an yang tidak biasa ku dengar dari
Arjuna dan srikandi ku.
“Pertanda apa gerangan?”. Aku mencoba
menepis kegelisahan ku dengan mengurung diri dalam kamar tidur ku. Ku
main kan bola golf kecil , yang ku ambil sewaktu ku dulu bekerja. Ku
ingat bola putih bundar berjerawat itu, tanda awal ku mengenal nya dan
berpacaran hingga kini ia menjadi suami ku.
“ Mas, andaikan tiap malam kau ada di sisi ku, dan mendampingi ku !?” penuh harap akan romantika seperti dulu ku berpacaran.
Tak
ku tampikan sebenar nya, suami ku adalah pria romantis, namun arogansi
lelaki nya selalu muncul menerpa, aku tak kuasa menahan arogansi ke
lelaki-an nya, selalu saja ia katakan padaku dengan bahasa da’wah layak
nya seorang ulama kondang.
“ Aku kan suami mu, jadi apa yang ku katakan kau harus patuhi !.”
Kata-kata
itu pun yang selalu ku ingat, saat ku dalam kesendirian, kenapa itu
yang di jadikan senjata kaum pria, untuk menindas para istri-istri nya.
“
Sebenar nya aku pun tidak akan membantah, jika saja ia bisa mengerti
posisi ku sebagai seorang istri yang juga mempunyai keluarga.
Hal
yang paling membekas dan sempet ku ceritakan pada seorang sahabat
ialah, ketika kami akan menyunati sang jagoan ku, suami ku meminjam
mobil perusahaan nya, dengan menjemput seluruh kelurga ku untuk bermalam
di rumah kami. Kejadian itu kecil namun sangat membekas, aku hanya
seorang istri yang ingin membahagiakan ibu dan ayah ku. Nampak nya suami
tak membaca ke inginan ku untuk saling berbagi kebahagian pada keluarga
ku, nampak sekali sejak kedatangan nya. Ini yang ku khawatir kan!,
aku
tak mampu mengkomunikasikan pada suami ku, sebalik nya suami ku juga
tak cerdas menangkap signal dari ku. Ayah dan ibu, seperti tak di anggap
nya sebagai orang tua nya, walau hanya mertua. Aku kesal sekali tak
dianggap!, namun itu ku pendam dan ku tawar kan suasana dengan sesekali
mengajak bercanda sang jagoan ku, sebagai media komuniksai, agar suasana
kehangatan seolah terbangun di antara kami.
“Yah, sebelum berangkat, sebaik nya kita sarapan dulu!”. Aku berharap ada respon baik dari suami ku.
“Nanti saja lah, kan sudah ku katakan!, aku harus berangkat pagi-pagi”.
“Tapi kan !”, menghardik tanpa wajah penuh dosa.
“Kan
sudah aku katakan, kalau aku bilang berangkat sekarang, Ya! Sekarang!
Ngerti ga sih!”, aku hanya terdiam, menahan rasa sedih, sarapan yang aku
masak sejak subuh tadi, tak di sentuh sedikit pun, kesedihan ku
bertambah.
“Mungkin benar, jika wanita adalah prodak penjajahan
kaum pria!”, aku hanya membatin, kemudian aku bergegas untuk membungkus
makanan yag sudah tersaji di meja makan, untuk mengantar kan ibu dan
ayah ku pulang ke rumah.
“ Aku coba memahami nya secara bijak,
mungkin saja mobil yang di pakai nya, untuk menjemput kedua orang tua
ku, mungkin pagi sekali akan di pakai, jadi ia terburu-buru.
”
Atau mungkin ia juga berfikir tentang diri ku dan keluarga ku “Kamu ini
ko tidak mau mengerti sih!, aku ini capek mondar-mandir, ke sana sini!.”
“Batin ku!.”
SELAMAT DATANG
SELAMAT DATANG DI SWARA AMPERA
GENERASI MERDEKA :
GENERASI CERDAS, KREATIF, SOLUTIF, INOVATIF, SOLUTIF DAN PROGRESIVE REVOLUSIONER
Pimpinan :Paul ardhian ZA. S.Ip, Dwi Ulung. A. Md, SH. MM, Penanggung Jawab : Bengkelwarna Komunika. Pimpinan Redaksi : Septian Pratama. Redaktur Pelaksana : M.Yasien Rosadi. Reporter :Robby Sandjaya, M.Yasien, Ocky Hidayat, Arif, Julian Harromi. Tata Letak : M. Yakub : Fotographer : Gilang, Lit Bang : Mpe Ardiansyah, Halim Ahmadi. Distribusi & Sirkulasi: Bengkelwarna Komunika. Jl. Ampera Raya 010/02 No.17 Cilandak Timur Ps. Minggu 12560.
Jakarta Selatan - Telpon 021 7819861
Jumat, 12 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar